Empat hari kemudian aku memberanikan diriku meminta izin ke ibuku, tapi ibuku belum bisa memberi keputusan karena yang memegang wewenang tetap saja kepala keluarga. Ketika bapakku selesai sholat jumat aku memberanikan diri untuk meminta izin ke bapakku, aku sama sekali tak menyangka ternyata bapak memberiku izin. Sabtu paginya aku berunding lagi dengan teman-teman ternyata tambah anggota lagi dan aku belum punya pasangan untuk rela memboncengkanku karena terus terang aku belum begitu berani ke luar
“Kringgggggggg………….!” Alarmku berbunyi tepat pukul 4.30 WIB aku terbangun sejenak untuk segera mematikan alarm dan mengambil air wudlu untuk menunaikan sholat Subuh . setelah itu aku kembali ke tempat tidur untuk melanjutkan mimpi indahku yang tertunda sejenak. Pukul 6.00 pagi sesegera mungkin aku mandi, mempersiapkan apa saja yang perlu di bawa, sarapan, kemudian menjemput Yudha di rumahnya karena kebetulan motornya dipakai ibunya.
Pukul tujuh lewat
“Ciiitttttttt…….!” Suara yang nyaring, dalam jangka waktu singkat dan secara tiba-tiba rem cakram depan beradu dengan ban motorku. Hal itu membuat badanku sedikit terpanting ke depan dan kehilangan keseimbangan selama 2detik. Kejadian itu karena Yudha yang sedang mengemudi terkejut karena aku memberitahukan kabar buruk dari Lusi. Raut wajahnya sontak berubah sekejab karena dari kemarin aku paksa berangkat pukul 7 pagi. Akhirnya dia mengajakku mencari warung untuk sarapan pagi di daerah Gading. Di
Sesampai di
Tepat jam 9 semua anggota sudah berkumpul walaupun ada sedikit halangan. Sepuluh menit kemudian kita berangkat menuju waduk Langlung untuk menemui Ipan. Setelah Ipan menghampiri kami yang telah lama menunggu di depan KUD Langlung kami pun sepakat mamapir dulu ke rumah Ipan yang jaraknya sekitar 2,5 Km dari waduk. Sesampai disana kami pun disambut ramah oleh ayahnya, duduk sejenak dan menikmati sajian dari tuan rumah sambil menunggu Aldreg dan Gialrdi datang. Sekitar
Rasa letihku terobati karena yang aku lihat di sepanjang jalan di kanan kiri terlihat hamparan pemandangan terbentang luas nan hijau. Udaranya yang sejuk sangat kontras dengan pemandangan pegunungan yang begitu indah. Baru kali ini ku rasakan ke Tawang Mangu mengendarai motor bersama teman-teman karena biasanya ke sini dengan keluarga.
Sesampai disana kita langsung memakirkan motor dan menitipkan helm di penitipan helm. Lalu kita mulai berjalan kaki menuju ke pembelian tiket masuk, kemudian kami langsung masuk dan mulai menuruni tangga satu per satu. Konon ada 1000 tangga disini, tapi setelah ku buktikan dengan menghitungnya baru sampai ke urutan 203 ada yang mengajakku bicara dan aku tak sanggup lagi mengingat sudah berapa anak tangga yang aku lalui. Aku lanjutkan saja perjalananku menyusuri sampai anak tangga terbawah kira-kira ada 500 tangga. Sesampai di bawah kita duduk sejenak untuk mengembalikan tenaga. Terasa cukup kita lanjutkan perjalanan menuju air terjun. Sesampai di tepi, teman-teman khususnya yang laki-laki ganti pakaian dan mulai menyusuri batu-batu besar dan sampai ke air terjun. Aku pun ikut menyusul mereka dengan membawa HP untuk mendokumentasikan pengalaman ini. Sesampai di bawah air terjun, sekujur tubuhku langsung basah terkena semburan air. Lebih tepatnya seperti orang kehujanan. Karena permintaan teman-teman aku beranikan diri untuk mengambil beberapa gambar mereka walaupun akhirnya HPku juga ikut basah kuyup. Setelah itu Yudha mengajakku turun menepi karena sudah kedinginan. Kemudian kita menemui Tiwi dan Arifin yang sudah bosan menunggu pakaian dan barang teman-teman. Lalu aku dan Yudha makan di warung sate yang tidak jauh dari tempat Tiwi dan Arifin berada. Setelah itu kita sedikit berjalan-jalan ke tangga yang belum pernah kita lalui. Ternyata disana lebih sejuk dan pemandangannya lebih indah.
Pukul 13.30 cuaca sedikit tidak bersahabat pertanda sebentar lagi akan turun hujan dan kita pun berkumpul dan mulai menaiki ratusan tangga. Setapak demi setapak kita langkahkan kaki menuju jalan keluar. Terlihat Tiwi berjalan tak beralas kaki dan membawa sendalnya di tangan, entah karena takut sendalnya rusak atau tak sanggup lagi memakai sendal. Berduyung-duyung tak hanya kami yang mandi keringat karena naik ratusan tangga, tapi semua kalangan ada, mulai dari bayi, balita, remaja, sampai orang yang lanjut usia pun juga ada, yang membuatku amat tak tega yakni di depanku ada bapak-bapak kira-kira umurnya sekitar 37-40 tahun membawa barang dagangannya di peti barang dan yang membuat hati ku iba, bapak itu hanya punya satu kaki. Tangan kirinya digunakan untuk memikul kotak barangnya, dan tangan kanan memegang kayu yang digunakan untuk menumpu tubuhnya. Aku berkata dalam hati, kita yang sehat jasmani baru setengah perjalanan saja sudah banyak yang mengeluh, apa lagi bapak yang didepanku ini. Setiap hari dia berdagang disini berarti setiap hari juga bapak ini harus melewati ratusan anak tangga. Padahal belum tentu hasil keuntungan yang didapatnya sebanding dengan usaha yang dilakukannya.
Waktu perjalanan menaiki tangga, aku dan beberapa orang lain sempat menjerit ketika ada 3 kera yang berkejaran melintas di dekatku. Mungkin saling berebut sang betina.
Beberapa menit kemudian kami sampai di ujung pintu keluar, wajah-wajah berlumuran keringat tampak pada teman-temanku tak terkecuali aku. Kita duduk sejenak di samping gerbang dan kita lanjutkan menyusuri jalan menanjak menuju tempat parkir. Masing-masing menghidupkan motornya dan memulai perjalanan pulang. Baru 50 meter dari gerbang keluar, hujan lebat melanda. Aku dan Yudha menepi dan segera memakai jas hujan yang telah aku persiapkan sebelumnya. Anehnya 10 meter dari tempat kami menepi, sama sekali tidak hujan. Bahkan ketika aku menoleh ke belakang, terlihat pasukan hujan menyerbu jalanan beraspal. Akhirnya kami menepi lagi, melepas jas hujan dan melanjutkan perjalanan. Beberapa meter kemudian gerimis lagi dan kita tetap tidak memakai jas hujan. Sesampai melewati suatu masjid, terlihat teman-temanku melambaikan tangan ke arah kami. Aku dan Yudha segera menghampiri mereka yang sedang berteduh di area parkir masjid. Tentu saja karena sebelumnya kami sempat terpisah. Kami berteduh sejenak disana. Semuanya ada kecuali Lusi dan Vendi. Kita sama sekali belum berpapasan di jalan. Hujan mulai reda dan kita semua mulai melanjutkan perjalanan dengan mengendarai motor bersamaan.
Sesampai di Bejen tak tahunya Vendi dan Lusi sudah di belakangku. Sampai di Jaten aku berpisah dengan teman-teman karena harus mengantarkan Yudha sampai di rumahnya. Akhirnya sekitar pukul 15.50 aku sudah sampai di rumah dan langsung mandi, sholat dan segera sms teman-teman hanya sekedar memastikan kabar bahwa mereka sampai ke rumah masing-masing dengan selamat.
2 komentar:
pasti lelah sekali ya mbak :)
sebuah cerita yang dikemas sangat indah, salut deh, mampu menulis dengan tulisan yang indah, emang punya bakat ne sob kelihatannnya...
semnagat terus membuat tulisan tulisan kerennnya ya... salut...
Posting Komentar