Jumat, 23 Januari 2009

[seni] Jane Alexander: deformasi dan diskriminasi


Butcher Boys

ArtThrob: artist bio and works

Tanpa terasa, postmodernisme telah menjadi tema dalam karya seni modern selama hampir seperempat abad--sejarah seni rupa pada umumnya menyatakan bahwa sisa-sisa paham modernisme telah mati pada awal 1970-an, dengan strategi dan tema yang telah dihabiskan oleh karya-karya pada era itu. Definisi modernisme itu sendiri adalah gerakan dalam seni yang mempunyai keterkaitan dengan kondisi politik dan sosial yang tengah terjadi di dunia dan masyarakat selama jangka waktu pembuatan karya. Postmodernisme memiliki keterkaitan dengan kondisi sosial yang serupa, namun dengan membuang batasan dan keterikatan jurnalistik yang dipegang oleh modernisme.

Pada dasarnya, dunia seni modern dan postmodern berada dalam struktur budaya sosial yang lebih luas sebagai hasil perkembangan dunia selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Meskipun karya-karya tertentu terkadang diberi label "Seni hanya untuk seni" dan berusaha untuk menjauhkan diri dari kehidupan nyata, seni selalu merupakan ekspresi dari kondisi manusia seperti halnya nilai-nilai budaya lain yang terdapat di masyarakat. Seniman juga merupakan manusia, dan mereka berpikir dan mempunyai perasaan yang dalam terhadap hal-hal yang sama dengan yang dipikirkan manusia cerdas dan berperasaan kuat pada umumnya. Bahkan ketika seniman menyatakan bahwa karya mereka tidak memiliki tujuan atau makna apapun, pernyataan tersebut memiliki maknanya sendiri tergantung apa yang tengah terjadi dalam struktur budaya dan intelektual masyarakat yang lebih luas. Dunia seni tidaklah terisolasi dari dunia nyata--tema-temanya boleh jadi berkembang dari logika internal, namun inspirasi akan tema-tema tersebut hampir tidak pernah berasal dari dalam dunia seni itu sendiri.


Born Boys

Patung-patung karya Jane Alexander, misalnya, yang banyak di antaranya menampilkan makhluk-makhluk 'kerdil' berbadan manusia dan bertopeng/berkepala hewan, dengan pandangan mata yang kosong dan terkucil (beberapa di antaranya malah memakai penutup mata), berpose dalam situasi sehari-hari seperti di halte bus, mengenakan pakaian rapi dan formal sebagaimana halnya manusia (atau anak-anak) terpelajar. Karya Alexander menimbulkan kesan yang merupakan perpaduan antara memilukan dan mengerikan; ia membangun patung-patungnya dari rangka dasar kawat berlapis gips yang kemudian ditambahkan unsur tubuh binatang seperti tanduk atau tulang. Cat minyak memberikan warna tipis pada permukaan kulit patung-patungnya yang pucat.

Karya Alexander bukanlah yang dapat diinterpretasikan secara mentah, namun dapat ditangkap secara garis besar bahwa dia memiliki perhatian dan simpati yang besar pada efek kerusakan sosial yang dapat ditimbulkan terhadap anak-anak, sedangkan warna putih kulit dan deformasi tubuh patung-patungnya melambangkan kengerian yang ditimbulkan oleh diskriminasi apartheid di tempat lahirnya, Afrika Selatan. Pose dan pakaian yang wajar dari patung-patung 'kerdil'nya, dengan pandangan kosong mereka yang menghipnotis, seolah menggambarkan keretakan yang telah terjadi dalam jiwa masyarakat--khususnya anak-anak--di kehidupan 'normal' yang mereka jalani bersama dengan kelompok sosial mereka sehari-hari. Beberapa di antaranya memiliki bekas luka operasi jantung (menggambarkan hilangnya 'hati') dan dalam pose wajar bertemakan hidup keseharian mereka membantu menekankan tema Alexander: bahwa kejahatan memiliki bentuk yang amat lumrah--bahwa orang kulit putih sendiri bahkan tak menyadari bentuk monster yang telah menjadi perwujudan mereka. Akan tetapi, sebagai salah satu seniman yang paling terkemuka di negaranya, Alexander juga merupakan salah satu dari mereka yang bersikap paling tertutup mengenai karya-karyanya--ia bersikeras bahwa patung-patung buatannya haruslah dapat menjelaskan diri mereka sendiri.

Tidak ada komentar: